MENANTIKAN UU NARKOTIKA YANG BERDAULAT

Spread the love

Jurnalline.com, Jakarta Pemerintah dan DPR-RI sepakat untuk mengubah UU RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Inisiatif yang datang dari pemerintah ini sudah dimasukkan dalam prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016. Sudah tentu pemerintah harus mempersiapkan Rancangan Undang-undang (RUU) melalui prosedur yang baku sebagaimana telah ditetapkan dalam aturan proses penyusunannya.

Terhitung sejak Orde Baru, Indonesia telah tiga kali mengganti dan mengubah hukum nasional mengenai narkotika (UU Narkotika), setelah mencabut hukum kolonial Verdoovende Middelen Ordonnantie (Stbl. 1927 No. 278 Jo. No. 536) dan menetapkan UU No. 9 Tahun 1976 setelah mengesahkan Konvensi Tunggal PBB tentang Narkotika 1961. Pemidanaan penjara hingga hukuman mati mulai diberlakukan bagi pelanggar UU Narkotika.

Setelah pengesahan Konvensi PBB tentang Psikotropika 1971 dan konvensi PBB tentang Peredaran Gelap Narkotik & Psikotropika 1988, Indonesia memberlakukan UU RI No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika dan mengesahkan perubahan UU Narkotika menjadi UU RI No. 22 Tahun 1997. Indonesia memberlakukan UU RI No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan mengesahkan perubahan UU Narkotika menjadi UU RI No. 22 Tahun 1997. Perubahan dilakukan untuk menyelaraskan dimensi kejahatan internasional dalam Konvensi 1988. Kemudian menggabungkan UU Psikotropika ke dalam UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Selain penggabungan itu, perubahan UU Narkotika dilakukan untuk mengakomodasi kelembagaan Badan Narkotika Nasional (BNN). Sebuah lembaga negara yang kompeten dalam pemberantasan kejahatan narkotik diamanatkan dalam Konvensi 1988 namun belum terakomodasi dalam UU 1997. Pemberatan hukuman juga dilakukan di perubahan kali ini.

Pelaksanaan UU Narkotika selama 40 tahun (1976-2016) sebagai penerapan ketiga konvensi yang dipaksakan di Indonesia bisa dikatakan gagal. Persoalan di masyarakat terkait narkotik justru bertambah selama periode tersebut. Di sisi lain, penerapan UU Narkotika menunjukkan kepatuhan Indonesia kepada PBB.

Persoalan-persoalan yang tercatat sebagai wujud kegagalan UU Narkotika di antaranya mengenai anggaran pemerintah yang mubazir, praktik penyuapan, ketidakefektivan hukuman mati dalam menimbulkan efek jera, membludaknya penghuni penjara, serta meningkatnya jumlah konsumen dan peredaran narkotik di Indonesia.

Itulah beberapa pokok yang menjadi topik bahasan dalam diskusi publik media, penggiat isu Napza dan akademisi yang digagas oleh Indonesia Cerdas Napza (dICERNA) di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada Rabu (15/6/2016).

Dengan menghadirkan Patri Handoyo (Indonesia Cerdas Napza), Inang Winarso (Yayasan Sativa Nusantara), dan Roffi Uddirojat (Center for Indonesia Policy Studies) sebagai narasumber, nampak para hadirin dari berbagai penggiat, kelompok akademisi, serta awak media terlibat dalam diskusi hangat yang membahas rencana perubahan UU Narkotika.

Patri Handoyo dalam paparannya dengan topik Menguasai Narkotika di Indonesia, Menilik Pelarangan dan Skema Penguasaan Ganja mengatakan, tanaman ganja yang memiliki beragam potensi yang telah dimanfaatkan manusia sejak ribuan tahun lalu, tidak sekedar mengandung zat psikoaktif, tanaman ini juga memiliki serat yang kuat, nutrisi yang tinggi, serta minyak untuk energi terbarukan. Sayangnya ingatan manusia akan potensi-potensi tersebut tergerus oleh penerapan kesepakatan internasional yang ditandatangani pada tahun 1961, dimana ganja, bersama koka dan opium dikategorikan sebagai narkotik. Kecuali untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan pengobatan dengan pengawasan ketat, pemanfaatan ganja dilarang di negara-negara anggota PBB.

Berdasarkan data pada tahun 2014, Polri berhasil menyita barang bukti 8,41 ton ganja atau 5,31% dari 158,52 ton estimasi ganja di Indonesia, 94,69% sisanya berhasil lolos dan diedarkan. Data ini membuktikan bahwa yang menguasai ganja di Indonesia bukanlah negara yang memberlakukan UU Narkotika, melainkan sindikat pengedar.

Sementara sindikat meraup keuntungan besar dari penguasaan ganja sejak 1976, masyarakat harus dihadapkan pada dampak sosial dan ekonomi pelarangan komuditas ini. Penjara yang penuh sesak, tingginya biaya konsumsi, serta maraknya praktik suap dan pemerasan berkaitan dengan upaya penegakan hukum terkait Narkotika.

Roffi Uddirojat membagikan pengalamannya dalam mengawal RUU Minuman Beralkohol (Minol). Dalam paparannya beliau mengungkapkan bahwa politikus suka memainkan momentum sehingga korelasinya sangat kuat dalam melahirkan prodak kebijakan untuk menaikan popularitas, belum lagi sponsor–sponsor dibelakang yang memiliki kepentingan secara kapital terhadap produk ekonomi yang berkaitan dengan kebijakan (UU) yang ingin dibuat. Tentu kedua hal tersebut harus dipetakan dengan baik dan para penggiat dan media harus berani menyuarakan kebenaran ini.

Selain itu juga, produk hukum yang dilahirkan seringkali tidak bersifat “evidence base”, dimana aturan-aturan yang tertuang di dalam aturan hukum tersebut tidak berdasarkan bukti-bukti yang terjadi secara nyata di masyarakat. Bahkan Center for Indonesia Policy Studies (CIPS) menemukan fakta bahwa pemerintah baik kepolisian tidak memiliki data yang akurat dari sebab akibat minuman beralkohol, misalnya data kecelakaan yang disebabkan oleh minuman beralkohol, berapa banyak orang meninggal karena disebabkan keracunan minuman beralkohol, dan data-data yang ada belum dapat dibuktikan kebenarannya.

Sementara itu Inang Winarso menjabarkan bahwa akar dari pelarangan akar kebijakan pelarangan adalah Single Convention tahun 1961, yang ditandatangai oleh wakil 192 negara, namun tidak semua negara mempelajari apa isi dari konvensi ini. Dampak dari Undang-undang yang dilahirkan dari konvensi tahun 1961, justru lebih sering menjatuhkan rakyatnya sendiri ketimbang melawan pihak-pihak sindikat dan produsen narkotika ilegal.

Bahkan dalam slogan larangan penggunaan narkotika terdapat hal yang menjungkirbalikan logika. Slogan “Jauhi Narkotika” jika ditelaah, tidak ada seorang pun yang mendekatkan diri pada narkotika, justru para produsen narkotika inilah yang menyodor-nyodorkan produknya melalui para bandar dan mendatangkan produk narkotika pada masyarakat, sehingga akhirnya ada orang yang mengkonsumsi dan menjadi pengguna.

Perlunya meninjau kembali dari sanksi pidana penjara dan denda yang teruang dalam UU Narkotika, serta penerapan hukuman administratif sebagai alternatif sanksi pelanggaran.

Dari hasil diskusi yang berlangsung hangat melahirkan 3 skema besar yang harus dimasukan kedalam RUU Narkotika dan memiliki kajian mendalam, adalah:

– Skema Penegakan Hukum ; skema ini terkait kejahatan internasional yang teroganisir hingga pencucian uang dari hasil kejahatan narkotika (pro justicia), penghapusan hukuman mati (hukum positif modern) dan penerapan hukum yang sesuai/dapat dilaksanakan di Indonesia seperti non penal pagi pengguna yang diganti dengan sanksi non pidana.

– Skema Pendekatan Kesehatan Masyarakat (Public Health) : Selama ini belum mampu menyingkronkan bagaimana pendekatan kesehatan masyarakat yang baik kedalam UU Narkotika seperti drugs treatment atau masuknya konsep Harm Reduction dalam UU Narkotika.

– Skema Penguasaan dan Pengelolaan Produksi Narkotika : Indonesia yang memiliki tanaman yang syarat manfaat seperti Ganja belum mampu di produksi dengan baik dalam nilai ekonomi negara. Hambatan terkait hal tersebut didasari oleh Konvensi Tunggal Narkotika 1961, yang berdampak ketidakmampuan negara untuk mengelola sumber daya alam yang dimiliki.

(J.A/Red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.