Jurnalline.com, Kota Tangerang – Dalam rangka membangun sistim pengupahan yang efektif dan akuntable untuk meningkatkan produktifitas, dan kesejahteraan buruh di prov banten. Dewan pengupahan Kab/ Kota se- Prov. Banten serta Disnaker Prov. Banten melakukan rapat koordinasi pengupahan yang dihadiri oleh Perwakilan Kementerian TenagaKerja RI, Imelda Safitri yang diselenggarakan di ruang rapat Gedung Pertemuan Resto & Hotel Istana Nelayan, Jati Uwung Kota Tangerang, Kamis (29/10).
Rakor Dewan Pengupahan yang anggotanya terdiri dari unsur Pemerintahan, Organisasi Pengusaha (APINDO), Serikat Pekerja/ Serikat Buruh yang tergabung dalam Dewan Pengupahan. Rakor dilakukan untuk memperoleh kesamaan pandang berkaitan dengan penetapan upah minimum tahun 2016 di Prov. Banten.
Selanjutnya Dewan Pengupahan akan memberikan saran dan pertimbangan kepada Gubernur Banten, Bupati / Walikota dalam rangka menetapkan Upah Minimum Prov ( UMP ),dan Upah Minimum Kabupaten/ Kota.
Rahmat selaku Koordinator Serikat Pekerja/Serikat Buruh se-Prov. Banten mengatakan’ bahwa untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi kehidupan yang layak tersebut, pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi para pekerja atau buruh, salah satu kebijakan pengupahan tersebut adalah penetepan upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan kebutuhan layak dengan mempertimbangkan produktifitas dan pertumbuhan ekonomi, serta atas saran pertimbangan Dewan Pengupahan.
Sangat disayangkan, Rakor Pengupahan dalam Penentuan Upah Minimum Kab/ Kota se-Prov. Banten, seharusnya mencari kesamaan pandang dalam menentukan pengupahan, akan tetapi diselipi oleh oknum yang mempunyai kepentingan untuk interpensi dalam penerapan PP No. 78 / 2015 yang dikeluarkan oleh Kementerian Tenaga Kerja Republik Indonesia (Kemenaker RI), yang mengakibatkan perwakilan serikat pekerja/buruh “Walk Out” dari ruang rapat kordinasi yang diselenggarakan di Resto & Hotel Istana Nelayan, ungkapnya.
Sementara memperjelas, Redi Darmana, SH Ketua DPD Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang Kulit (FSPTSK) , dan juga Perwakilan DPD/DPC se- Prov. Banten menghimbau agar pelaksanaan survey kebutuhan hidup layak (KHL) sebagai dasar dalam penetapan upah minimum agar dilaksanakan secara cermat, sehingga dapat menghasilkan nilai KHL yang benar-benar rill dan akuntable, dewan pengupahan agar merumuskan data mengenai pertumbuhan ekonomi dan produktifitas untuk memenuhi usulan pemenuhan upah minimum serta menghimpun data dan informasi dari berbagai sumber, agar nilai upah minimum yang diusulkan dapat mencerminkan kondisi rill antara kebutuhan kehidupan layak dan kemampuan perusahaan.
Berkenaan dengan ketetapan Upah Minimum Kota/Kab dan Provinsi. Dewan pengupahan agar melakukan kajian untuk menentukan sektor usaha yang sesuai dengan klasifikasi bangku usaha Indonesia ( KBLI ) dan menentukan sector-sektor unggulan. Sektor- sektor Unggulan tersebut disampaikan kepada Asosiasi Sector Pengusaha dan Serikat Pekerja Sektor, untuk dirundingkan nilai UMSK-nya. Tapi sangat disayangkan rapat koordinasi pengupahan se-prov banten diisi oleh Sosialisasi PP. 78 Tahun 2015 yang sangat kontropersial dan ditolak oleh Serikat Pekerja / Serikat Buruh yang ada dalam acara rakor tersebut, sehingga suasana menjadi ricuh dan berujung dengan wolk outnya anggota depeko/depekab yang ada dalam acara rakor tersebut.
PP ini sudah jelas sangat bertentangan dengan UU 13/03 khususnya pasal 89 yang isiya masih berperannya Dewan pengupahan dalam menentukan Upah Minimum, tetapi dalam PP 78 tahun 2015 tentang pengupahan yang baru saja di tandatangani oleh presiden Jokowi sama sekali tidak melibatkan Dewan Pengupahan sehingga PP di nilai bertentangan dengan UU. Dan yang lebih mengecewakan buruh UU 13 tahun 2003 masih berlaku sehingga tentang penetapan upah ini menjadi tumpang tindih dengan peraturan yang lainnya dan ini yang membuat gaduh dan aksi aksi buruh akhir akhir ini. Demikian disampaikan oleh Rd. Sugandi selaku anggota Dewan Pengupahan Kota Tangerang.
( DIE 007 & BIDOEN /Red)
Copyright © 2017 Jurnalline Cyber Media