Jurnalline.com – JKT – Media alternatif sangat diharapkan, namun hari ini sosial media di Era globalisasi dengan kebabasan pers yang muncul sejak awal reformasi. Zaman orde baru media alternatif pasti dilarang, hanya banyak didunia kampus, hari ini media alternatif merupakan media berbasis gadget bertekhnologi import dan menjadi bagian dalam hidup bagaimana sosial media mampu mencegah separatisme yang berbasis primordialis melebih .
Social Media for Civic Education (SMCE) yang dikomandoi Rouf Qusyairi hari ini mengajak berdiskusi dengan tema “Peran Media Alternatif Dalam Mencegah Propaganda Sepratisme Di Indonesia” di Gedung Juang Menteng. Rabu. (25/11/2015).
Dalam diskusi ini yang menjadi pembicara antara lain Budiarto Shambazy (Kompas) Tarman Azzam (PWI Pusat) Hariqo Wibawa Satria (Direktur Komunikonten)
Rouf Qusyairi selaku Direktur SMCE mengatakan bahwa pemerintah tidak boleh lengah terhadap isu perpecahan yang berkembang di nusantara.
“Separatis itu harus telusuri penyebabnya mengapa kelompok itu punya keinginan melakukan separatisme, pasti ada ketimpangan sosial yang terjadi, pendekatan itu yang harus dilakukan pemerintah,” jelasnya.
Rouf juga mengatakan bahwa dalam upaya penanggulangan isu perpecahan di Indonesia, pemerintah harus dapat menggunakan instrumen lain dalam hal ini media sosial sebagai bentuk perlawanan terhadap gerakan-gerakan sejenis.
Budiarto Shambazy (Kompas) sangat tertegun dengan kondisi hari ini “Separatisme tidak menjadi perhatian dan bukan menjadi issue prioritas padahal kerisauan akan ancaman teroris yang sangat serius, Indonesia menjadi salah satu target ISIS” ungkapnya.
Lanjut Budiarto “Banyak ancaman yang mengarah integrasi bangsa, bagaimana media sosial sebagai sarana menjawab ancaman integrasi yang datang” ujarnya.
Sementara Tarman Azzam mantan Ketua PWI Pusat mengatakan bahwa telah terjadi pergeseran makna kata separatisme di era modern ini. Jika dulu separatisme berarti gerakan pemisahan diri, sekarang lebih kearah pada bentuk aksi perlawanan kelompok terhadap kekuasaan yang lebih besar, dalam hal ini pemerintah sebuah negara.
Jurnalis senior ini lebih menekankan “Separatisme dengan pergeserannya, dulu artinya gerakan pemisahan diri, kalau sekarang radikalisme yang tidak menuntut pemisahan diri namun pengakuan,” ujar Tarman.
Menurut Tarman gerakan pemisahan diri, hanya memberikan dampak negatif secara global bahkan memakan korban nyawa dan memberikan fear effect dalam sendi kehidupan manusia. Karena itu dia berharap perlu ada inovasi dibidang pertahanan informasi dan komunikasi yang dilakukan negara-negara di dunia termasuk Indonesia dalam menanggulangi isu yang berkembang.
(Zeet/Rai/Red)
Copyright © 2017 Jurnalline Cyber Media