Jurnalline.com, Jakarta – Aksi Super Damai, Bela Islam jilid III, yang diikuti oleh sekitar jutaan orang dari berbagai daerah dari luar kota Jakarta, luar Jawa dan bahkan dari luar negeri seperti dari Malaysia dan Singapura ini, aksi yang digelar dalam bentuk kegiatan sholat jumaat berjamaah dan doa bersama untuk sebuah tuntutan penjarakan Ahok tersangka kasus penistaan agama Islam, pada awal perencanaan persiapan kegiatan ini dihantui oleh issue makar bernuansa politik, pasalnya ada sinyalemen aksi suci ini ditunggangi oleh kelompok yang ingin menyalurkan syawat politik kekuasaan, hingga muncullah kesepakatan antara GNPF-MUI dengan Kapolri, bahwa aksi bela Islam III boleh dilaksanakan dengan berbagai syarat yang intinya agar kegiatan tersebut hanya kegiatan ibadah saja.
Namun, sesaat menjelang digelarnya aksi Bela Islam III, pagi hari, publik dikejutkan oleh kabar penangkapan 12 orang aktivis yang selama ini dikenal bersikap kritis terhadap pemerintahan Jokowi-Jk, maupun kritis terhadap berbagai dugaan kasus menimpa Ahok, mereka ditangkap aparat kepolisiaan dengan dugaan tindakan makar, hal ini menimbulkan spekulasi perspektif publik, yakni bahwa pasca aksi super damai Bela Islam III di monas jumat 2/12/2016, dapat berdampak apabila hakim tak memberi rasa keadilan bagi umat Islam yang melakukan aksi 212 tersebut, bisa saja terjadi friksi antar anak bangsa, dan juga ada dua dimensi yang terjadi pada aksi 212 ini, yaitu dimensi hukum dan dimensi politik, demikian dikatakan oleh Sutrisno Ketua Forum Kebangsaan, yang ditemui oleh awak media jurnalline.com, Sabtu (3/12/2016). Sebagian dari mereka mengatakan bahwa Soal hukum sudah dilakukan proses penyelidikan dan penyidikan. Untuk bukti kongkritnya kasus Ahok sudah P21 yang tidak lama lagi berlanjut ke proses persidangan, di dalam kategori itulah penentuan apakah Ahok masuk dalam penodaan agama atau tidak. Persidangan mencari kebenaran absolut. Artinya delik hukum sudah jelas, sedangkan dalam dimensi politik tidak terlepas dari bicara kepentingan, maka ada nuansa kepentingan lokal untuk Pilkada dan juga bisa kepentingan nasional konteksnya untuk kepentingan kepemimnan Nasional.
Disinyalir ada kelompok yang tidak ikut demo mengambil peran memanfaatkan situasi pasca aksi 2/12, mengindikasikan bahwa aksi 212 ini bukan cuma untuk menuntut penistaan agama atau menuntut Ahok dipenjarakan namun juga menuntut agar pemerintah Jokowi tidak mengintervensi proses hukum terhadap Ahok, “akan tetapi repotnya, ada kelompok yang memanfaatkan aksi 212 agar bisa berdampak muncul nya konflik nasional,”tutur Sutrisno Ketua Forum Kebangsaan, saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (3/12).
Ia menambahkan bahwa apabila putusan Pengadilan yang diberikan hakim tidak memenuhi rasa keadilan umat Islam, hal tersebut bisa memicu munculnya konflik Nasional. Konflik inilah kemudian akan memberikan peluang bagi pihak tertentu untuk melakukan manuver menjatuhkan rezim Jokowi, “jadi dapat dikatakan bahwa dampak aksi bela Islam III, inilah yang harus diwaspadai oleh semua pihak untuk menjaga NKRI beserta potensi kebinekaan Tunggal Ika,” ucap Sutrisno.
Sementara bicara gerakan makar, maka menurut Sutrisno bahwa gerakan makar tidak dapat dikatakan makar, pasalnya gerakan makar itu harus tersusun rapi dan dilakukan oleh sekelompok orang dengan kekuatan yang Besar, dalam dimensi politik, 12 orang yg ditangkap itu tidak terindikasi bertindak makar, sehingga menurut Sutrisno, penangkapan aktivis jelang aksi tersebut, hanya merupakan tindakan isolasi bagi mereka yang di duga membelokkan aksi tersebut ke arah aksi pendudukkan gedung DPR /MPR, dan membelokkan tujuan aksi menuntut Ahok dipenjara menjadi aksi politis.
“Ya, menurut teori makar, tindakan makar bisa terjadi bila ada strategi mendalam dan disertai dengan kekuatan bersenjata, penangkapan itu hanya isolasi saja, dan meredam agar gerakan aksi Bela Islam, agar tidak dibelokkan missinya maupun tujuan nya,” tutur Sutrisno menutup perbincangan dengan awak pers.
(IDG)
Copyright © 2017 Jurnalline Cyber Media