Jurnalline.com, JAKARTA – Ketua Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat Samudera Sejahtera (Komura), Jaffar Abdul Gaffar, menggelar jumpa pers untuk mengklarifikasi soal berita operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan polisi di Pelabuhan Peti Kemas di Samarinda, Kalimantan Timur pada Jumat, 17 Maret 2017. Dia menjelaskan soal uang Rp 6,1 miliar yang disita polisi dalam OTT itu.
Menurut Jaffar, uang itu bukanlah uang hasil pungutan liar melainkan dana operasional untuk membayar upah buruh. Ia membantah jika uang tersebut adalah hasil pungli.
“Kalau langsung dikategorikan bagian dari money laundry atau korupsi, suap, saya belum bisa katakan ada bagian dari itu, karena apa yang saya lakukan selama ini adalah aturan,” ungkap ketua Komura dalam jumpa pers di Hotel Akmani,Jakarta Pusat, Minggu (19/3).
“Kebetulan abis mencairkan dana dari bank,” kata dia. “Uang itu baru diambil (dicairkan), tahu-tahu ada penggerebekan dan tidak langsung menanyakan masalah apa,”ungkapnya.
Dia menjelaskan uang itu untuk membayar gaji buruh yang akan mengambil upah, baik buruh yang akan bekerja dan yang sudah bekerja. Karena yang sebelum bekerja sudah dibayar panjar sebesar 20 – 30 persen dibayarkan terlebih dahulu,sebelum bekerja,untuk kebutuhan hidup.
“Uang yang dibayarkan itu,berasal dari perusahaan yang membayarnya,”tegas Jaffar Abdul Gaffar.
Soal kabar bahwa biaya untuk upah terlalu tinggi, Jaffar mengatakan hal itu sesuai dengan kesepakatan berdasarkan peraturan Menteri Perhubungan yaitu ongkos pemuatan pelabuhan dan ongkos tujuan ke pelabuhan lain, yakni WHIK. W, kata Jaffar, adalah upah tenaga kerja. H adalah kesejahteraan, I asuransi, dan K registrasi.
“Itu komponen yang kami bahas dan disepakati semua pihak termasuk pemilik barang, asosiasi perusahaan bongkar muat dengan tenaga kerja koperasi dan difasilitasi oleh tiga pembina,” ujarnya lagi. Tiga pembina itu di antaranya, pihak Syahbandar (KSOP), Dinas Tenaga Kerja, dan Dinas Koperasi. Menurut Jaffar, upah buruh di berbagai daerah tidak bisa dibandingkan. Dia mengatakan jika upah buruh dianggap tinggi kenapa tidak dibicarakan.
“Kalau terindikasi macam-macam ya silakan diproses, tapi jangan divonis kalau kami melakukan satu kesalahan yang berkaitan dengan namanya pemerasan. Ini saya belum terima,” kata beliau dengan tenang.
Jaffar bercerita, koperasi didirikan pada 15 Agustus 1985. Pria asal Takalar, Sulawesi Selatan ini menyebut Komura telah mendapat berbagai penghargaan. Di antaranya, penghargaan koperasi terbaik pada 2007 di Bali, koperasi berprestasi pada 2010 di Sidoarjo.
Saat ini, kata dia, buruh atau anggota Komura sekitar 1.300 kepala keluarga. Setiap kepala keluarga menanggung istri dan tiga anak. “Ini tanggung jawab kami dengan anggota. Jangan sampai ini mengganggu kegiatan bongkar muat,” ungkap H Abdul Jafar.
(dms)
Copyright © 2017 Jurnalline Cyber Media