Jurnalline.com, Kayuagung OKI (Sumsel) – Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Wilayah Sumatera Selatan mengungkapkan sejumlah “Skandal Keuangan Perjalanan Dinas” yang terjadi pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) disepanjang Semester II Tahun Anggaran 2017 berpotensi merugikan negara hingga mencapai Rp1.979.250.000.
Meskipun BPK merekomendasikan dengan meminta pengembalian sisa lebih pembayaran ke kas daerah, sehingga tidak dapat dikenakan unsur penyelewengan atau tindak pidana korupsi dari skandal ini sendiri.
“Setidaknya dengan kasus ini patut diduga telah menjadi bukti otentik bahwa belanja perjalanan dinas yang dilaksanakan dalam keikutsertaan pimpinan dan anggota DPRD pada kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) yang dilaksanakan oleh Lembaga Studi Peningkatan Daerah, serta Instute For Training and Education, rentan dijadikan lahan korupsi berjamaah,” jelas Koordinator Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Sumatera Selatan Nunik Handayani kepada awak media beberapa hari yang lalu melalui rilisnya.
Anggaran Miliaran Rupiah dipersiapkan Sekretariat Dewan (Setwan) DPRD OKI untuk perjalanan dinas dengan jumlah keseluruhan 179 anggota dewan yang terbagi dalam 4 sessi kegiatan dengan masing-masing kegiatan berlangsung hingga 3 hari ini,
“Pada kegiatan pertama tanggal 22 hingga 25 Januari 2017 keseluruhan 45 orang wakil rakyat “hijrah” ikut bimtek,” rincinya.
Berdasarkan Laporan Realisasi Anggaran Pemerintahan Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) periode sampai dengan 30 November 2017, tercatat belanja perjalanan dinas wakil rakyat ini Rp48.761.554.611, anggaran yang terealisasi mencapai Rp26.294.247.738 atau sekitar 53% dari anggaran.
“Penelusuran terhadap realisasi pembayaran uang harian kegiatan perjalanan dinas kegiatan peningkatan kapasitas menunjukkan bahwa uang harian Bimbingan Teknis (Bimtek) yang dibayarkan adalah sebesar uang harian satu hari keberangkatan dan satu hari kepulangan, serta 75% dari uang harian sebanyak jumlah hari pelaksanaan bimtek,”
Menurut keterangannya, dalam sekali kegiatan bimtek masing-masing wakil rakyat memperoleh pendapatan diluar gaji sebesar Rp13.250.000 untuk unsur pimpinan, dan anggota dewan memperoleh Rp10.500.000,” terangnya.
Nunik melanjutkan, Setwan OKI menggunakan Peraturan Bupati (Perbup) OKI Nomor 351 Tahun 2015 Pasal 11 pada poin a dan b yang memberikan penjelasan perjalanan dinas dalam rangka pendidikan dan pelatihan peserta seminar dan sejenisnya mendapatkan 75 % dari uang harian secara penuh (Fullboard) satu hari keberangkatan dan satu hari kepulangan.
“Sebenarnya disini potensi kerugian negara itu berawal, besaran uang harian Fullboard (Menginap) Fullday (Sehari penuh tanpa menginap), dan Halfday (lebih dari 5 jam) menurut perundangan yakni seharusnya dengan peraturan Perbup Nomor 352 Tahun 2015, dengan besaran uang saku mengacu kepada Perbup Nomor 118 Tahun 2016, Sayangnya, dalam peraturan ini, Standar Biaya Kabupaten (SBK) justru tidak tersedia,” jelasnya.
Akibatnya, bisa saja kerugian negara ini sengaja di grand design oleh tangan-tangan kekuasaan diatasnya yang memaksa Setwan mengambil keputusan menggunakan Perbup Nomor 351 Tahun 2015 Pasal 11 butir a dan g, tanpa ada patokan SBK yang menyertainya.
“Persoalan ini harus diusut tuntas, benarkah memang tidak ada kesengajaan, atau justru memanfaatkan celah untuk bisa dikorupsi berjamaah,” cecarnya.
Dilanjutkannya, Peraturan Bupati Nomor 352 Tahun 2015 Tentang Perjalanan Dinas di Lingkungan Pemkab OKi yakni Pasal 11 ayat 1 poin g, yang menyatakan biaya perjalanan dinas jabatan untuk mengikuti rapat seminar dan sejenisnya ditanggung oleh panitia penyelenggara dengan ketenteuan penyelenggaraan dilaksanakan diluar kantor/hotel atau tempat lainnya dimana Surat Perjalanan Dinas (SPD) melakukan perjalanan dinas jabatan melewati Kabupaten mendapat uang saku Fullboard, uang transport pegawai, uang harian satu keberangkatan dan satu kepulangan.
“Berdasarkan ketentuan tersebut seharusnya uang harian yang dibayarkan pada saat pelaksanaan bimtek adalah sebesar uang saku fullboard, bukan 75 % dari uang harian, permasalahan ini mengakibatkan realisasi pembayaran belanja uang harian perjalanan dinas kegiatan peningkatan kapasitas pimpinan dan anggota DPRD pada Setwan sebesar lebih dari Rp1,9 Miliar tidak memiliki dasar hukum, atau bisa dikatakan kegiatan menggunakan uang rakyat tersebut cenderung koruptif,” jelasnya.
Dirinya justru balik bertanya mengapa sampai bisa “kecolongan” dalam menetapkan SBK, terlebih lagi, perjalanan dinas ini diadakan setiap tahunnya.
“Pertanyaannya jelas, mengapa Perbup Nomor 118 Tahun 2016 Tentang SBK OKI Tahun Anggaran 2017 belum mengatur tentang besaran uang saku dgn skema Fullboard, ada permainan apa disini,”? Tanya Nuniek.
Dalam LHP BPK ini juga dinyatakan untuk menyelesaikan permaslahan ini, Pemkab OKI menyatakan akan memerintahkan kepada Sekretaris Dewan untuk meningkatkan pengawasan dan pengendalian pegawai Sekretariat DPRD sesuai dengan perundangan berlaku.
“Disini juga jelas, apabila terdapat kelebihan pembayaran akan diperintahkan kepada pihak terkait untuk segera menyetor ke kas daerah, terhadap temuan ini, BPK merekomendasikan kepada Kabupaten OKI agar mengatur besaran uang saku untuk perjalanan dinas dengan pertanggungjawaban Fullboard pada SBK Kabupaten OKI,” tegasnya.
Bagi Fitra sendiri sebagai lembaga yang akan tetap memantau dan mengawasi penggunaan anggaran yang dipakai satu sen pun milik rakyat bukan karena kerugian negara bisa dikembalikan atau tidak, tetapi setidaknya, sudah bisa dinilai, niatnya saja sudah memprihatinkan. Kasihan rakyatnya dihisap melalui pajak dan lainnya, sementara pengguna anggaran justru akal-akalan untuk mengeruk keuntungan sendiri atau golongan.
“Fitra berharap dengan menyampaikan informasi ke publik terkait temuan hasil audit BPK kepada masyarakat, adalah sebagai bentuk kontrol, agar para pejabat publik tidak bermain-main dengan uang negara,” tegasnya.
Menurut Naniek, sejumlah amanat telah diberikan kepada pejabat untuk mengelola dana untuk dipergunakan dalam memenuhi kebutuhan dasar warga masyarakat dan membangun infrastruktur agar masyarakat bisa dengan mudah untuk mengakses pembangunan di daerahnya.
Terpisah, terkait hal ini, Sekwan DPRD OKI Hj Nila Utami SIP MM justru mengarahkan awak media menemui Bagian keuangan Setwan Fahrul dan Kabid Pembendaharaaan DPPKAD Faridenia Burniat untuk mendapatkan keterangan detil mengenai penetapan Perbup pada perjalanan dinas serta dan lainnya.
“Coba tanya bagian keuangan, atau langsung ke Kabid Pembendaharaan DPPKAD, mereka lebih mengerti detilnya. Masalah ini sudah ditangani,” terangnya beberapa hari lalu di ruang kerjanya.
Ditambahkan mantan Kabag Keuangan Setwan ini, pihaknya siap mengatur mekanismenya, jika memang terdapat rekomendasi mengembalikan kerugian Negara.
“Kami akan berkoordinasi dengan dewan, kalau memang akan dikembalikan ke kas daerah, kemungkinan pembayarannya dipersiapkan selama 6 bulan hingga pelunasan,” tuturnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pengelolaan Pendapatan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Ir Mu’in melalui Kabid Bendahara Faridenia Burniat mengungkapkan dalam menentukan kebijakan seperti pengenaan payung hukum dalam suatu kegiatan DPRD atau Organisasi perangkat Daerah (OPD) lainnya, mempunyai kewenangan masing-masing, seperti dalam menerapkan payung hukum dan teknis lainnya dari kegiatan setwan itu sendiri. Dirinya juga mengemukakan, Instansi keuangan ini sering dijadikan semacam media centre bagi Tim Audit BPK yang berkenaan keuangan atau data lainnya untuk melengkapi yang dibutuhkan.
“Bukan berarti Kita ini langganan diperiksa BPK. Alasannya, efisiensi waktu saja, karrna disinilah pusat data keuangan maupun laporan berupa lampiran pendukung lainnya,” ucapnya.
Saat dikonfirmasi atas temuan BPK terkait ketidaksiapan Pemkab OKI dalam turut mencegah upaya celah koruptif di Setwan melalui penetapan SBK tentang pengaturan besaran uang harian perjalanan dinas yang seharusnya tertuang dalam Perbup 118 Tahun 2016, dirinya justru berpendapat sebaliknya, menurut lelaki pecinta otomotif ini sembari meyakinkan awak media dengan memperlihatkan sekilas sejumlah dokumen terkait.
“Coba dilihat saja, untuk penetapan besaran sudah ada di dalam Perbup nomor 118, dan juga, DPPKAD tidak mengatur hal teknis internal OPD, termasuk meneliti atau mengaudit kegiatannya, Kita hanya membayarkan kegiatan yang sudah memenuhi peraturan perundangan dengan lampiran pendukung lainnya,” pungkasnya.
(Eka DH)
Copyright © 2017 Jurnalline Cyber Media