Jurnalline.com, Sofifi (Maluku Utara) – Merncermati perkembangan pemberitaan akhir-akir ini terkait persoalan sengketa status 6 desa yang dipersoalkan Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat (Halbar) dan Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara (Halut), maka semua pihak harus dapat melihat persoalan ini dari sudut pandang kepentingan bersama.
Kepala Biro Pemerintahan dan Otda Miftah Baay mengatakan, pemerintah provinsi Maluku Utara sejak awal tidak memiliki kepentingan apapun terhadap status 6 desa yang akan diputuskan, mau ke Halbar ataupun ke Halut, semua pihak harus menunggu keputusan Kementerian Dalam Negeri.
“Yang penting semua pihak baik kedua Pemerintah Kabupaten maupun masyarakat dapat menerima dan melaksanakan keputusan Mendagri dengan sebaik-baiknya,”katanya melalui press release yang diterima reporter Jurnalline.com, Kamis (28/2/2019
Menurut kepala Biro Pemerintahan dan Otda ini, beberapa waktu yang lalu Pemerintah Provinsi telah dipanggil ke Kemendagri untuk mendengar langsung penjelasan penarikan garis batas yang dituangkan kedalam Draft Permendagri, selanjutnya Draft Permendagri tersebut diberikan kepada Pemerintah provinsi untuk dipelajari dan diminta masukan dan catatan akhir. Karena memang pertimbangan Kemendagri perlu memperoleh masukan
dari Pemerintah Provinsi Maluku Utara.
Lebih jauh Miftah Baay mengatakan, Pemprov Maluku Utara melalui Tim Penegasan Batas Provinsi setelah mempelajari dan mencermati secara seksama garis
batas tersebut, menyimpulkan bahwa penetapan Titik Koordinat Batas sebagaimana Draft Permendagri dimaksud berpotensi menimbulkan persoalan baru di lapangan, karena penarikan garis batas yang membagi wilayah 6 desa mengikuti pola sebaran KTP dan KK masyarakat setempat, hal ini juga mengakibatkan pemetaan sebaran aset milik kedua kabupaten juga akan semakin runyam. Desa-desa yang sebelumnya utuh akan terpisah-pisah dan masyarakatnya akan terkotak-kotak.
“Tentu pembagian garis batas seperti ini berpotensi akan menimbulkan polemik baru dan secara teknis tidak sesuai dengan kaidah-kaidah penetapan garis batas yang ideal sesuai ketentuan perundang-undangan,”terangnya
Terkait statemen Bapak Gubernur beberapa waktu lalu, semata-mata merupakan tanggapan Pemerintah Provinsi terhadap Draft Permendagri yang diserahkan ke Pemerintah Provinsi Maluku Utara, disamping itu Gubernur juga meminta Kemendagri agar berhati-hati dalam memutuskan persoalan ini jangan sampai menimbulkan konflik baru.
Selanjutnya dia menjelaskan, Gubernur sesuai kewenangannya selaku Wakil Pemerintah Pusat di daerah, sesuai PP. Nomor 33 Tahun 2018, berkewajiban melalukan pembinaan, pengawasan dan supervisi atas penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten/kota. Sehingga berkewajiban menyampaikan masukan yang didasari atas kehati-hatian demi terciptanya proses penyelenggaraan pemerintahan di kabupaten/kota yang efektif dan efisien.
Apalagi kedepan kita akan menghadapi hajatan besar demokrasi yaitu pemilihan legislatif dan PILPRES 2019. Jangan sampai terulang lagi situasi dan kondisi pelaksanaannya sebagaimana yang terjadi pada PILGUB di 6 Desa yang lalu.
Menyikapi pernyataan Kabag Pemerintahan Halut, Miftah menilai itu hal yang biasa dan wajar, sebab kedua Pemerintah Kabupaten yang berpolemik akan melihat persoalan ini dari sudut masing-masing, Pemkab Halbar akan melihat dari kepentingan Halbar dan Pemkab Halut juga akan melihat dari kepentingan Halut. Berbeda dengan sudut pandang Pemerintah Provinsi yang selalu mengutamakan kepentingan bersama dengan prinsip kehati-hatian.
“Ibarat dua orang anak yang sedang bertengkar lalu orangtuanya yang menyelesaikan persoalan. Ini bukan persoalan menang atau yang kalah, tetapi Pemerintah Provinsi Maluku Utara melihat kepentingan lain yang perlu diutamakan yakni keamanan, ketertiban dan efektifitas pelayanan publik serta kelancaran penyelenggaraan pemerintahan,”tandasnya
Oleh karena itu, dia mengajak semua pihak agar tidak terprovokasi dengan isu liar yang akan mengganggu stabilitas pemerintahan. “Jadi mari kita semua bersabar dan tetap menunggu putusan akhir proses penyelesaian permasalahn 6 desa, jangan mengeluarkan statemen yang dapat memperkeruh situasi dan kondisi yang kondusif ini,”tukasnya
Hal senada juga disampaikan kepala biro Protokoler Kerjasama dan Komunikasi Publik, Armyn Zakaria, menurutnya, persoalan enam desa juga merupakan agenda prioritas pemerintah provinsi Maluku Utara. Pasalnya, menyangkut dengan hajat hidup orang banyak.
“Pemprov sudah melaksanakan tanggung jawab sesuai tugas pokok dan fungsi. Batas wilayah Halteng-Haltim juga sudah ada SK Kemendagri, ini adalah bukti bahwa Pemprov Malut benar-benar konsisten menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi di Maluku Utara, termasuk 6 desa,”kata Armyn
Armyn menjelaskan dalam Permendagri Nomor 141 Tahun 2017 pasal 22 s/d 24 secara tegas dijelaskan bahwa apabila tidak tercapai penyelesaian perselisihan maka Gubernur menyerahkan penyelesaian batas daerah kepada Menteri Dalam Negeri, dan Ini perintah undang-undang.
“Mengapa demikian, karena kedua Pemerintah kabupaten sama-sama ngotot dan mempertahankan
kepentingan dan argument masing-masing selama proses penyelesaian di tingkat Provinsi, makanya dalam situasi ini, undang-undang mengatur mekanisme dan
prosedur penyelesaian sengketa batas wilayah. ini bukan hanya terjadi di Maluku utara, tetapi juga di daerah lain yang memiliki sengketa batas wilayah yang prosesnya
diserahkan ke Kemendagri,”ungkap Armyn
(YUDI)
Copyright © 2017 Jurnalline Cyber Media