Jurnalline.com, Semarang – Sejumlah pemuda dan mahasiswa yang tergabung dalam Masyarakat Moderat Indonesia (MMI) mengadakan diskusi publik memperbincangkan Semangat Kebhinekaan Karakter NKRI : Solusi Konflik Papua, (27/09/2019).
Acara yang dilaksanakan di Kafe Eatboss, Semarang dihadiri puluhan masyarakat dari berbagai elemen, baik pemerintah maupun masyarakat sipil.
Dalam sambutannya, panitia menjelaskan kota semarang adalah kota pelajar, banyak perguruan tinggi di Kota Semarang, mahasiswanyapun heterogen terdiri dari berbagai suku dan daerah, salah satunya mereka saudara kita yang dari Papua. Ini alasan kenapa kita mengambil thema diatas, kita belajar dari Surabaya, dan biar kejadian seperti itu tidak terjadi juga di Semarang, mulai sejak dini kita mengadakan diskusi public ini, sebagai upaya menumbuhkan kesadaran kebhinekaan dan persaudaraan antar mahasiswa.
Diskusi publik ini dipantik Joseph Army sadhyoko M.Hum, dalam pemaparannya dia bercerita pernah memiliki pengalaman pendampingan dalam komunikasi serta memiliki mahasiswa yang berasal dari Papua. Menurutnya mahasiswa asal Papua adalah orang-orang baik dan cerdas.
“Dari lubuk hati yang paling dalam saya katakan bahwa temen-teman Papua adalah orang-orang yang baik dan cerdas di lihat dari persentasi di kelas selama saya mengajar di kampus” ungkap Joseph.
Kita sebagai anak bangsa harus bisa merangkul dan memegang erat mahasiswa Papua saat mereka jatuh bangun dalam perantauan, itu karena kita adalah saudara mereka.
“Mereka yang jauh dari tanah kelahirannya, tentu mengalami jatuh bangun dalam menempuh pendidikan, karena itu mari kita senantiasa merangkul dan memegang erat mereka”, imbuh Joseph.
Narasumber yang lain, Muhammad Dzikrullah H Noho M.H, mencari solusi soal Papua kita harus mengkaji ini dengan sosiologi hukum, menurut saya Papua didalam kacamata hukum tidak bisa di lihat dari probem yang kaku, mereka masih mempunyai adat dan nilia luhur warisan nenek moyang yang dipegang erat sama mereka.
“Papua itu istimewa, adat istiadat dan nilai ajaran leluhur masih dipegang erat, kita tidak bisa menerapkan secara kaku hukum positif terhadap saudara kita dari Papua, harus mengedepankan dialog”, ujar Dzikrulloh.
Sedangkan pemateri ketiga, Drs. Muhammad Adnan MA memulai pemaparannya dengan cerita pengalaman saat dia menjadi minoritas di Hiroshima.
“Saya pernah menjadi warga minoritas ketika di Hiroshima. Saat itusaya merasakan kesulitan mencari tempat ibadah. Beruntung ada orang mualaf yang berkenan membantu mencari tempat ibadah”, ungkap Adnan.
Dari kisah kisah saya, mereka yang menjadi minoritas, harusnya diberi kemudahan dalam akses, baik akses ibadah maupun pendidikan.
“Dari kisah ini menurut saya mereka yang minoritas harus kita permudah aksesnya, baik akses ibadah, pendidikan, tempat dan lainnya”, imbuh Adnan.
Penulis : Fram
Editor : Ndre
Sumber : Rls Mc-KJ
Copyright © 2017 Jurnalline Cyber Media