Jurnalline.com, Jakarta – Tokoh Alumni 212, Kapitra Ampera, menilai aksi Mujahid 212 yang berlangsung di depan Istana Merdeka, Sabtu (28/9/2019), tidak jelas. Pasalnya, demonstrasi tersebut menyuarakan tuntutan yang bermacam-macam, mulai dari pembatalan sejumlah RUU, turunkan Presiden Joko Widodo (Jokowi), sampai bicara soal khilafah.
Kapitra Ampera, bahkan mengatakan demonstrasi tersebut terkesan seperti melampiaskan dendam lama pascakekalahan Pilpres 2019.
“Saya lihat memang sudah enggak jelas nih. Mujahid 212 kok jadi latah. Tidak substantif. Kesannya kok ada dendam lama. Harusnya kan yang disuarakan itu RUU yang masih berkolerasi dengan tuntutan mahasiswa,” kata Kapitra Ampera, saat dihubungi, Sabtu (28/9/2019).
Soal spanduk “TAP MPR RI No 6/Tahun 2000” yang salah kaprah dibawa pendemo, Kapitra juga merasa malu dan tertampar. Menurut dia, demonstrasi tersebut tidak memiliki substansi yang sama dengan tuntutan mahasiswa.
“Ditambah lagi dengan spanduk itu. Saya ini mujahid asli 212, jadi malu, tertampar saya. Enggak jelas agendanya apa tetapi ada hidden agenda ada agenda terselubung. Saya pikir ini hanya cara perhatian saja, dan saya yakin itu bukan Mujahid 212 yang sesungguhnya,” tandas dia.
Kapitra juga menilai aksi Mujahid 212 sudah mempolitisasi agama. “Dibawa ke jalan sumpah-sumpah. Kapan ya agama Islam diajarin seperti ini? Saya enggak pernah itu diajari seperti itu. Gerakan ini justru memperburuk image (Islam),” pungkas Kapitra.
Politisi PDI Perjuangan yang juga Sekjen DPP Taruna Merah Putih Restu Hapsari mengatakan jika aksi massa Mujahid 212 yang digelar Sabtu (28/9) bertujuan untuk menurunkan Presiden terpilih Jokowi, maka itu sudah keluar jalur alias ‘off side’.
“Jangan menyangkal hasil suara rakyat yang sah. Jokowi sudah ditetapkan menang 50,5 persen oleh KPU. Tidak ada lagi yang bisa mengugurkan keputusan KPU,” tegas Restu dalam keterangan tertulisnya kepada Gesuri, Sabtu (28/9).
Sementara itu, terkait demo Mujahid, Restu mengritisi beberapa hal, seperti kurangnya penguasaan materi demo yang disuarakan.
Misalnya, lanjut Restu, tentang Amanat TAP MPR RI No 6 Tahun 2000 sebagai alasan presiden tidak dipercaya rakyat wajib mundur. Namun, yang dipampangkan di spanduk ternyata Tap MPR RI 6/2000 berisi tentang pemisahan TNI dan Polri.
“Lalu juga seruan tentang pemerintahan khilafah, saya kira out of context. Harus dipertanyakan apa motif politik dan siapa kelompok kepentingan di belakang Mujahid 212,” Restu menandaskan.
Penulis : Fram
Editor : Fay
Sumber : Mc-KJ
Copyright © 2017 Jurnalline Cyber Media