51 Tahun Mengabdi untuk Negeri Ini Perjalanan Karir Alm. SHS

Spread the love

Jurnalline.com, Kawangkoan (Minahasa) – In Memoriam Alm. DR Drs Sinyo Harry Sarundajang_Sosok panutan. pernah tinggal di rumah Ds AZR Wenas, yang masih keluarga dekat SHS Sinyo juga sempat tinggal di keluarga Herman Wenas. Herman merupakan Mayor Minahasa disaat beliau melanjutkan sekolah dasarnya di SR Tomohon (sekitar tahun 1959). Selama di Tomohon,

Kala itu Domeni Wenas menjabat Ketua Sinode Gereja Masehi Injili di Minahasa (pada tahun 1942-1967). SHS banyak mendapat didikan dari Ds Wenas yang merupakan pemimpin yang disegani GMIM, masyarakat Minahasa, dan bahkan masyarakat Sulawesi Utara. Pendidikan dasar Sinyo, lebih banyak dipengaruhi didikan kakeknya di Kotamobagu dan Pdt AZR Wenas.

Tamat Sekolah Rakyat, dirinya melanjutkan studi di SMP Kristen Kawangkoan (tahun 1960) dan tamat SMA Negeri Kawangkoan (tahun 1964). Semasa SR, SMP, dan SMA, SHS selalu juara di kelas. Bahkan setiap ada lomba deklamasi, baca puisi, dan pidato, Sinyo selalu menjadi pemenangnya. Sejak kecil, SHS sudah terbiasa berdiri dan berorasi di depan banyak orang.

Kharismatik sosok seorang pemimpin, sudah terlihat sejak di bangku sekolah. Ketika tampil di depan kelas, SHS selalu penuh percaya diri. Wajahnya yang tampan dengan kulit yang putih berih serta tatapan yang tajam, membuat SHS selalu menguasai audience. Apalagi didukung dengan cara berpakaiannya yang neces (rapi bersih) dan rambut yang tebal, membuat teman-teman kelasnya selalu terpana.

Karena mengalir darah pamong praja dalam dirinya (ayahnya saat menjabat camat dan kakeknya menjabat kepala desa), menginjak remaja, SHS memilih menimbah ilmu di bangku kuliah yang memperkuat bakat kepamongprajaannya.

Saat ayahnya menjadi camat di Tompaso Baru, Camat Kawangkoan, dan Camat Sonder. SHS tamat dari SMA, memilih melanjutkan kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sam Ratulangi Manado. Empat tahun di Unsrat Manado (tahun 1968), SHS melanjutkan di Fakultas Ketatanegaraan dan Ketataniagaan, Untag, Jakarta.

Tidak ada duanya. Demikian ungkapan banyak orang, melihat perjalanan karir birokrat Sinyo Harry Sarundajang (SHS) bukan pemimpin karbitan.

Tetapi masa kecil, SHS menjalani perjuangan hidup dengan keras. Kendati lahir dari keluarga ekonomi mapan, Sinyo tidak dimanja dengan kepunyaan orang tua. Sebagai sulung dari dua adiknya (Yenny dan Rice), Sinyo sudah belajar hidup mandiri terpisah dari orang tua.

Ayahnya bernama Youtje Sarundajang, warga Tataaran Tondano. Ibunya Yulian Liow, warga Kawangkoan. Sinyo tidak lahir di rumah sakit. Sinyo lahir di Lepoh (kobong pece), Desa Talikuran Kecamatan Kawangkoan Kabupaten Minahasa, pada 16 Januari 1945. Kedua orang tuanya kemudian memberi nama dia, Sinyo Harry Sarundajang.

SHS lahir di zaman pergolakan. Di masa Sinyo dalam kandungan, ibunya berpindah-pindah dari lokasi penyingkiran yang satu ke lokasi penyingkiran yang lain. Sempat juga menyingkir di Gua Jepang Kawangkoan.

Hampir sembilan bulan dalam kandungan, Sinyo nyaris tidak terawat baik. Ayahnya ketika Ia lahir, bertugas sebagai pasukan TNI Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Setelah Presiden Soekarno memproklamirkan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, kondisi Indonesia termasuk Kawangkoan mulai membaik.

Walau tidak lagi hidup di pengungsian, tetapi ketika kecil, Sinyo mulai belajar hidup mandiri. Tahun 1957, ia dikirim orang tuanya belajar di Sekolah Rakyat Kotamobagu. Di Kotamobagu, ia tinggal bersama kakek dan neneknya.

Kakek Sinyo bernama Hendrik Sarundajang, lahir di Tataaran 9 Januari 1897 dan meninggal di Kotamobagu 5 April 1983. Sedangkan neneknya Margaretha Mamuaja, lahir di Tataaran 25 Juni 1899 dan meninggal di Kotamobagu 11 Juli 1986. Mereka memiliki 9 (sembilan) orang anak. Keluarga ini datang ke Kotamobagu tahun 1928. Saat itu masih 3 orang anak yaitu Jootje (ayah dari Sinyo), Frits, dan Wim Sarundajang.

Selain mendapat pendidikan formal di bangku sekolah, Sinyo lebih banyak mendapat didikan dari kakeknya. Terutama didikan sebagai pemimpin pluralis.

Kakeknya dipilih menjadi Kepala Desa (Sangadi) di Kotamobagu tahun 1933-1935. Ketika itu kerajaan Bolmong diperintah oleh raja Cornelius Manoppo, dan Kotamobagu merupakan sebuah desa, yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Kakeknya tahu menempatkan diri di tanah orang. Kakeknya menjadi garam dan terang. Ia yang mengajarkan masyarakat di sana soal bercocok tanam, khususnya teknologi membajak sawah menggunakan hewan sapi. Karena itu masyarakat Desa Kotamobagu memilihnya menjadi pemimpin. Kendati kakeknya warga minoritas, satu-satunya Kristen dan suku Minahasa. Kakeknya menjadi pemimpin yang pluralis dan majemuk.

Putra terbaik Sulawesi Utara ini, merupakan yang paling lama pengabdiannya bagi bangsa dan negara. Sekira 50 tahun menjadi abdi masyarakat. Bahkan sejak Januari 1970 sampai Januari 2021, tidak pernah tanpa jabatan (non job).

Bahkan sebelum itu, di usia belia (25 tahun), Sinyo sudah menjadi pegawai Dosen di Fakultas Sosial Politik Universitas Sam Ratulangi Manado dengan mata kuliah Ilmu Politik.
Kemudian tahun 1974, Dosen di Akademi Pemerintahan Dalam Negeri Manado dengan mata kuliah Administrasi Negara.

Karir birokrat SHS memiliki basic disiplin ilmu yang kuat, sehingga di jajaran PNS baru di Pemprov, Sinyo paling menonjol. Tak heran tahun 1974, Gubernur saat itu Jenderal Hein Victor Worang, melirik pegawai muda ini untuk diberikan tanggungjawab besar sebagai Kepala Direktorat Keamanan dan Politik pada Direktorat Sospol Dati I Sulut.

Worang melihat ada potensi besar dalam diri Sinyo, karena itu pada 1975, Gubernur Worang mengirim Sinyo untuk mengikuti tugas belajar mendalami Administrasi Teritorial di Institute International Administration Publique Francaise, Perancis. Di Perancis, Sinyo menjadi lulusan terbaik dan mengalahkan mahasiswa-mahasiswa dari negara lain. Bahkan di Perancis, Sinyo menerima penghargaan Certificate Asseduite Cours de Perfectionmeet du Francais Universite de Nice.

Sekembali dari Perancis, tahun 1976, Sinyo menjadi konseptor Gubernur Worang. Sinyo yang selalu menyusun pidato Worang. Walau pun sering dimarahi Worang, tetapi Sinyo sangat disayangi oleh Gubernur Worang. Karena itu Sinyo juga banyak belajar dari sang Jenderal.

Worang kemudian memberikan kepercayaan yang lebih besar, menjadi Kepala Biro Pemerintahan Umum Kantor Gubernur. Ia bertugas dari tahun 1977-1978. Sinyo mencatat sejarah menjadi pejabat eselon II di usia yang masih sangat muda 32 tahun.

Lebih hebat lagi, di usia yang masih 33 tahun (1978), Sinyo sudah mencapai karir birokrat tertinggi. Ia ditunjuk oleh Gubernur Worang menjadi Pj Sekretaris Wilayah Daerah Kabupaten atau Sekwilda Kabupaten Minahasa. Saat itu Minahasa belum dimekarkan, terbentang dari Likupang sampai Poigar. Tahun 1981, Kepala Biro Penyelenggaran Pemilu Provinsi Sulawesi Utara.

Tahun 1983, diangkat menjadi Sekretaris Daerah Kabupaten Minahasa. Sinyo menjadi Sekda sampai 1986. Bahkan ayahnya saat itu harus memberi hormat ketika ketemu di saat dinas. Tetapi di rumah, Sinyo harus tunduk. Karena saat ayahnya menjadi Camat, Sinyo atasannya sebagai Sekwilda.

Sepanjang sejarah, belum pernah ada pejabat yang menjadi sekretaris daerah di usia yang masih 33 tahun. Ayah Sinyo bahkan yang saat itu menjabat camat, tidak percaya melihat anaknya dilantik oleh Gubernur Worang menjadi Sekwilda. Ayahnya bahkan tidak terima diperintah oleh anaknya. ‘’Anak spanggal sudah menjadi sekda,’’ kata ayah Sinyo saat kaget melihat anaknya dilantik. Dan memang, saat Sinyo menjadi Sekda, semua bawahannya lebih tua dari SHS (Sinyo).

Tetapi di dalam lubuk hati paling dalam, ayahnya sangat bangga. Apalagi ibunya, yang selalu membanggakan hasil jerih payahnya menyekolahkan Sinyo. Kisah anak Sekda dan ayah camat ini, belum pernah ada dalam sejarah.

Di usia 41 tahun, ia dipromosikan untuk mempersiapkan Bitung dari kecamatan menjadi Kota Administratif. Tahun 1986, Sinyo menjadi Wali Kota Kota Administratif Bitung, kemudian 1990 Pj. Wali Kotamadya Bitung, dan 1991-2000 menjadi Wali Kota Bitung.

Bitung kemudian menjadi pilot projek nasional kota administratif pertama di Indonesia. Sinyo menjadi Wali Kota Bitung terlama (14 tahun) tiga periode dari 1986 sampai 2000. Di masa itu Ia mengikuti Sespanas (1986) dan Terpadnas (1988).

Sejak tahun 1987 aktif mengikuti kegiatan dari International Union of Local Authorities (IULA) seperti di Roma tahun 1987, Perth tahun 1989, Belgia tahun 1989, Washington DC tahun 1990, Toronto tahun 1993 dan Jakarta tahun 1995.

Setelah dia melepas dua periode sebagai Gubernur Sulut, tak berselang lama, tahun 2018 SHS diberi kepercayaan menjadi Duta Besar RI untuk Filipina sampai dia menghembuskan nafas terakhir.

Penulis : EffendyIskandar
Editor : Ndre

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.